WeLLCome

SeLamat Datang di Web Hery Suhendra, SeLamat menikmati...


Sabtu, 12 Desember 2009

Melayukah Aceh atau Acehkah Melayu?

Melayukah Aceh atau Acehkah Melayu? Oleh Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad Opini PEMERINTAH Malaysia memberi anugerah Tun Perak kepada wakil pemerintahan Aceh (Wagub Muhammad Nazar). Ini mengingatkan saya pada Manohara ketika diberikan gelar bangsawan oleh pihak Kraton di Jawa Tengah. Bedanya memang cukup signifikan, Muhammad Nazar dalam budaya Melayu, sedang Manohara dalam budaya Jawa. Saya tidak ingin mengomentari gelar Tun Perak juga pidato Wagub yang dimuat utuh Harian Aceh (8/12/2009), sebab itu sebagai satu peristiwa sejarah bagi pemerintahan Aceh era IRNA (Irwandi dan Nazar). Justru yang menarik adalah upaya Malaysia untuk terus menerus menganggap Aceh sebagai Melayu. Pada saat yang sama, konsep Melayu di Malaysia sendiri masih bermasalah. Usaha Malaysia ini berhasil ketika beberapa tahun terakhir selalu melibatkan Aceh untuk mempertahankan identitas Melayu-Tradisional mereka. Sebab, di dalam konstitusi Malaysia, definisi Melayu adalah (1) yang berbahasa Melayu; (2) beragama Islâm; (3) lahir sebelum 1957 di Malaysia. Dari definisi ini kelihatan bahwa Aceh sama sekali bukan Melayu di dalam konteks konstitusi Malaysia, kecuali beberapa orang Aceh yang lahir di Malaysia. Bahkan beberapa keluarga mereka sama sekali masih berbahasa Aceh (bukan bahasa Melayu!) baik sesama keturunan Aceh atau di dalam keluarga mereka sendiri. Ini mirip dengan keluarga Jawa di Johor yang masih menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari. Di Malaysia ada sebutan cukup rasis dalam mengeluarkan dari suku melayu, seperti indon (untuk orang Indonesia), mamak (untuk orang India), bangla (untuk orang Bangladesh). Sementara bagi orang Cina yang baru masuk Islâm dipanggil dengan istilah mat soh. Adapun untuk orang kulit putih dikenal dengan sebutan mat saleh. Demikianlah sikap rasis negeri Melayu ini terhadap para pendatang. Sehingga muncul istilah baru bagi orang Melayu di Malaysia yaitu Other Malays (orang Melayu yang lain) yang menerima sikap rasis dari Melayu versi konstitusi. Menarik lagi ketika beberapa tahun terakhir, Malaysia selalu ‘mengajak’ Aceh sebagai bagian dari peradaban Melayu pra-kemerdekaan mereka. Sehingga para pemimpin Aceh bangga sekali dengan ajakan ini. Bahkan pernah digelar konggres Melayu Raya di Banda Aceh. Pemerintah Malaysia sama sekali sudah meninggalkan konsep ini dengan mengedepankan istilah identitas baru yakni Malaysia is Truly Asia (Malaysia adalah benar-benar Asia). Karena kemesraan sejarah inilah seolah-olah Aceh dan Melayu adalah satu. Bahkan pandangan yang paling lazim adalah bahasa Pasai sebagai bahasa Peradaban Melayu. Upaya yang dilakukan oleh Malaysia ini pernah diterapkan pada negeri Pattani, namun gagal karena konflik yang berkepanjangan di kawasan tersebut, sehingga akar Melayu yang diinginkan oleh Malaysia tidak begitu berhasil. Akan sentimen Melayu ini masih muncul di Pattani, Yala dan Narathiwat. Namun dalam konteks Aceh seakan-akan sangat menjanjikan. Jika ditelisik secara seksama Aceh merupakan satu entitas peradaban tersendiri yang tidak ada hubungan entitas Melayu. Identitas sebagai peradaban dunia inilah yang ingin dikuburkan oleh pihak tertentu untuk kepentingan sosial politik identitas di rantau Asia Tenggara. Malaysia saat ini memang sedang mengalami persoalan identitas atau referensi keaslian budaya mereka, apalagi ketika beberapa negeri mereka dikuasai oleh pihak Cina berikut kebudayaan mereka. Demikian juga kegelisahan akan putra-putri mereka di dalam berbahasa Melayu dialek Indonesia, karena tidak sendikit rumah tangga mereka ditunggui oleh wanita Indon dan menonton sinetron Indonesia. Mereka tentu saja tidak ingin seperti Singapura yang sudah berhasil menguburkan identitas Melayu. Sehingga Malaysia selalu mencari akar budaya yang kuat, termasuk ingin mengklaim beberapa budaya Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan mereka. Namun karena pihak Jawa mengerti betul pola ini, maka mereka sangat menentang sikap Malaysia tersebut dengan sambutan Ganyang Malaysia. Terkait dengan Aceh yang memiliki sistem kebudayaan yang sama sekali berbeda dengan Melayu juga diusahakan untuk dikaburkan dan dikuburkan. Sistem kebudayaan dimaksud, mencakup tiga hal; bahasa (bahasa Aceh), sejarah (Aceh memiliki sejarah sendiri), kebudayaan (Aceh memiliki kebudayaan sendiri). Kalau dilihat lebih seksama kebudayaan Melayu itu tidak ada kaitannya dengan Tanah Aceh, melainkan dekat dengan Pattani dan Pulau Jawa. Orang Negeri Sembilan kebanyakan berasal dari Minangkabau. Orang Johor dan Selangor tidak sedikit berasal dari Jawa. Sedangkan Pulau Pinang memang menurut sejarah diciptakan sebagai kawasan perdagangan. Orang Aceh yang masih berbahasa Aceh bisa dijumpai di Kedah. Bahkan sejarah Melayu versi Malaysia lebih banyak diberitakan yang bersumber pada kitab Negarakertagama. Artinya walaupun ada hubungan kerajaan atau peperangan dengan Kerajan Aceh Darussalam, namun Kerak Peradaban Melayu (KPM) di Malaysia tidak ada hubungannya dengan Kerak Peradaban Aceh (PKA). Garis peradaban mereka bersinggungan dengan Jawa-Sriwijaya (Palembang dan Jambi) -Temasek (Singapura) -Nakhorn Sri Thammarat (Thailand). Inilah kelalaian para penulis Aceh di dalam menulis identitas peradaban sendiri. Dulu para penulis Aceh telah menghasilkan kitab-kitab untuk digunakan sebagai pedoman kebudayaan Aceh dengan segala keontentikannya, dimana beberapa sariannya belakangan dijadikan sebagai kerak peradaban Melayu-Malaysia. Namun sayangnya setelah melihat kegemilangan Malaysia saat ini, KPA (Kerak Peradaban Aceh) mulai menghilang. Orang Aceh agaknya bangga diklaim sebagai bagian dari Melayu. Padahal orang Melayu tidak pernah bangga menjadi bagian dari KPA. Sebagai contoh kecil, tarian seudati, ranup lampuan, ratoh duk, tarian seribu tangan, saman tidak akan pernah dijumpai di dalam sejarah tarian Melayu di Malaysia. Mereka hanya memiliki tarian zikir hulu yang berkembang di Kelantan dan Terengganu. Tarian-tarian Melayu di Malaysia lebih mirip dengan tarian Melayu-Riau. Sedangkan di Sabah dan Serawak budaya mereka lebih dekat ke budaya di pulau Kalimantan. Dari segi pakaian adat orang Aceh, jika dibuka lagi sejarah KPA maka akan terkuak bahwa adat pakaian orang Aceh sama sekali berbeda dengan orang Melayu. Salah satu pepatah Melayu adalah lembu punya susu, sapi punya nama. Artinya kita yang memiliki KPA jangan sampai diklaim sebagai bagian dari kebudayaan wangsa lain. Jika ditilik dari sejarah, tanah Melayu memang tempat pertemuan beberapa budaya, mulai budaya Jawa, Thai, hingga Aceh. Karena itu keaslian Melayu di Malaysia masih diperdebatkan oleh para peneliti. Untuk mengamankan identitas Melayu, pihak Malaysia berhenti di depan konstitusi sebagai orang Melayu yang sah. Inilah kegusaran pendiri bangsa Malaysia ketika merumuskan konsep negara Malaysia, supaya suku-suku lain mendapat tempat di dalam konstitusi Malaysia. Namun puak Melayu tetap diutamakan sebagai bumiputera. Sebagai bukti kegusaran ini adalah munculnya kerusuhan besar-besaran pada tahun 1969 akibat dari pergesekan identitas Melayu dengan identitas lainnya (Cina). Namun kita orang Aceh tanpa memahami pergumulan atau konflik identitas ingin menyandingkan dengan budaya berada dibawah kita. Saat ini upaya untuk menggali KPA sudah hilang seiring gencarnya upaya Malaysia memelayukan Aceh dan upaya orang Aceh memelayukan diri mereka sendiri. Dalam beberapa literatur sejarah (mulai dari Denys Lombard hingga Tgk Chik Kutakarang) yang sangat jelas diterangkan bahwa Aceh merupakan sebuah peradaban sendiri yang megah. Sulit mencari raja sekaliber Iskandar Muda di Tanah Melayu. Sulit mencari kitab sebanding dengan Sirat al-Mustaqim (karya Syaikh Nurdin Ar-Raniry) dan Tarjuman Mustafid dan Mir’at Tulllab ( karya Syaikh Abdur Rauf al-Singkili) di dalam sejarah Malaysia. Karena itu pula ulama dari Mekkah dan Madinah lebih tertarik ke Aceh daripada ke semenanjung Melayu, karena mereka paham betul bahwa ada KPA di ujung pulau Sumatra ini memiliki kaitan yang kuat dengan kerak peradaban mereka di Timur Tengah. Ini disebabkan oleh asal usul orang Aceh berasal dari wangsa yang paling terhormat di dunia. Kita khawatir dengan perebutan gelar dan simbol, marwah dan martabat wangsa Aceh menjadi seperti yang terjadi hari ini. Karena itu kita mengharapkan adanya pengetahuan sejarah identitas yang komprehensif di Aceh. Sejauh pengetahuan saya, tidak ada pelajaran KPA mulai dari sekolah hingga perguruan tinggi di Aceh. Suku Dayak yang masih tinggal di tengah hutan sudah menggagas Dayakologi untuk menjadi sebuah ilmu seluk beluk mengenai kehidupan orang Dayak. Sedangkan Aceh belum berani memunculkan Acehnologi (ilmu tentang seluk beluk Aceh). Adapun suku Jawa telah membenamkan kerak peradaban mereka ke seluruh Indonesia, termasuk kehidupan masyarakat Aceh. Karena kealpaan dan kelalaian inilah maka tidak mengejutkan persoalan identitas wangsa Aceh akan dikaburkan beberapa tahun yang akan datang. Upaya menelusuri KPA melalui Acehnologi ini perlu dipertimbangkan. Di Aceh misalnya tidak sedikit gelar bangsawan yang punya makna identitas kebudayaan Aceh. Namun gelar dan atribut tersebut tidak lagi dipandang perlu dan digunakan oleh beberapa artis ibukota. Orang Aceh bangga dan tidak pernah merasa malu akan larinya makna KPA tersebut. Di Aceh tidak sedikit gaya bahasa Aceh yang penuh dengan estetika dan semiotik, namun sama sekali tidak menjadi pelajaran penting di sekolah atau perguruan tinggi. Tidak ada jurusan Studi Aceh (Aceh Studies) di Perguruan Tinggi Aceh. Bahkan generasi muda susah berbahasa Aceh. Perihal Acehnologi memang masih sangat tabu ibarat pijet dalam kasoe brok. Ini disebabkan oleh format dan struktur identitas Aceh sudah menghilang, kecuali simbol-simbol saja untuk keperluan Qanun Adat Istiadat yang kemudian disimpan di dalam lemari. Karena itu tidak mengejutkan jika 30 tahun yang akan datang ilmu tentang seluk beluk Aceh harus dipelajari di Semenanjung Melayu, karena Aceh adalah Melayu. Inilah kecelakaan sejarah yang paling fatal bagi wangsa Aceh. * Penulis adalah antropolog tinggal di Banda Aceh. [Sumber: Serambinews.com]

My Name..

What HERY SUHENDRA Means
H is for Honest

E is for Easy

R is for Refined

Y is for Young

S is for Sassy

U is for Unusual

H is for Honest

E is for Expressive

N is for Neat

D is for Dramatic

R is for Rich

A is for Ambitious