WeLLCome

SeLamat Datang di Web Hery Suhendra, SeLamat menikmati...


Minggu, 01 Agustus 2010

Murtad Berbaju Islam

Sumber: SEBAGIAN besar suku Aceh yang Islam tak akan percaya jika ada orang Aceh yang keluar dari agamanya. Saya termasuk salah satunya, karenanya saat tsunami saya tidak begitu khawatir tentang masalah isu permutadan tersebut, sebab orang Aceh memiliki seperangkat “fanatisme positif” dalam merawat Islam sebagai agama orang Aceh. Namun, sekarang saya dan sebagian orang yang berpikir seperti itu tersentak bahwa para misionaris telah berhasil “mencuri” satu khasanah Aceh. Orang Aceh tidak cukup kebal dan kemungkinan juga “fanatisme positif” sudah tidak terawat lagi sehingga tiga orang wanita Aceh telah murtad dengan berbagai alasan. Satu korban saat diajukan pertanyaan, mengapa mau murtad? menjawab, “tidak dipaksa tetapi seperti tidak sadar”, satu lagi menjawab “tidak mengerti saya sudah murtad tetapi saya sudah dibaptis atau dimandikan” dan satu lagi menjawab, “Saya beralih agama secara sukarela, namun sekarang saya sudah beralih kembali ke Islam,” jawabnya. Dari pengakuan korban, ada sebuah pernyataan bahwa kendatipun mereka sudah beralih agama mereka tetap bisa melaksanakan shalat, menggunakan jilbab, dan kegiatan lainnya. Sebab, bagi misionaris tidak penting seseorang yang sudah murtad melaksanakan hukum “syariat” baru. Yang penting “domba” yang hilang itu sudah masuk dalam pengampunan yang mereka yakini selama ini. Artinya, orang Aceh harus sadar bahwa target misionaris dengan target Islam dalam masalah pertukaran agama, sangat berbeda. Dalam Islam, seseorang yang baru memeluk Islam diminta untuk hidup baru. artinya semua nilai lama harus ditinggalkan. Tetapi, dalam agama yang disiarkan para misionaris ini, mereka masih menganjurkan kepada penganut baru untuk tetap hidup dengan nilai lama. Yang penting bagi mereka, berubahnya keimanan dan kepercayaan kepada ajaran mereka. Dengan demikian, orang Aceh harus paham, proses pemurtadan seperti ini merupakan pekerjaan halus, tak berbekas dan sulit diditeksi. Karenanya, proses pemurtadan bukan sebuah bahaya terbuka, tetapi dia adalah laten dan lebih bermakna kepada tingkat tauhid. Misionaris juga suka menggunakan idiom Islam, terutama tentang Isa AS sebagai pintu masuk dalam membicarakan Islam dan kemudian ujungnya mereka akan memberitahukan kesamaan dan kedudukan mulia antara Islam dan agama baru yang disodorkan. Para misionaris suka memilih target orang Islam yang dinilai sekuler atau secara penampilan dapat mereka prediksikan sebagai “domba” yang mudah untuk diubah. Hasil pengamatan memang memperlihatkan kecenderungan tersebut, dari korban terlihat bahwa mereka termasuk orang Aceh yang modern dalam penampilan, dan memiliki sejarah bergaul yang “wah”, meski hanya setingkat perkampungan. Misionaris juga sering memesonakan dirinya lewat perilaku yang baik dalam melaksanakan kegiatan dan pekerjaannya terutama dalam bidang kemanusiaan. Pemberian bantuan dan keramahan mereka serta sikap yang baik yang ditunjukan kepada masyarakat, membuat beberapa orang mudah untuk dipengaruhi. Keramahan dengan niat spirituil ini, membuat “mereka” yang tertarik membandingkan dengan orang di sekeliling mereka. Kebaikan dalam bentuk pemberian, perhatian, kesempatan, dan pemberdayaan tersebut akhirnya menjadi sebuah lubang utuh untuk masuknya “nilai syirik” besar ke dalam nurani orang yang ditargetkan tersebut. Strategi Aceh Muslimin Aceh, terutama kalangan ulama, dayah, dan kalangan cendikiawan muslim berdarah Aceh dapat dikatakan tidak memiliki pengalaman “tanding” dengan para misionaris. Berbeda dengan muslimin atau ulama di pesantren di luar Aceh. Persaingan antar agama ini, telah membuat organisasi dan para ulama tertarik untuk belajar paham-paham misionaris, sehingga jurus mereka dalam menghadapi misionaris lebih mampu memahami, dan bahkan menangkalnya. Dengan demikian, sudah saatnya muslimin, ulama, dan organisasi Islam di Aceh memlengkapi diri dengan pengetahuan “counter strategi” untuk membongkar dan sekaligus mencegah proses misionaris ini secara tuntas. Di samping itu, penanganan syariat Islam juga bukan hanya sebatas pelaksanaan hukum-hukum Islam tetapi juga memantapkan fungsinya untuk mencegah gerak-gerik misionaris ini dan peningkatkan pendidikan keimanan di tengah masyarakat sehingga Aceh akan cukup punya pengetahuan umum dan ketahanan yang saya istilahkan dengan “fanatisme positif” untuk merawat nilai Islam di hati orang Aceh. Kajian Hukum Sampai hari ini, tidak mudah untuk menjadikan masalah pemurtadan ini sebagai masalah hukum. Dasar yuridis untuk menjerat pelaku pemurtadan orang Aceh tersebut hanya dapat dijerat dengan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Akidah dan syiar Islam khususnya pasal 4 ayat 3. Di mana disebutkan “Setiap orang dilarang dengan sengaja keluar dari akidah dan atau menghina atau melecehkan agama Islam” dan pasal 20 menyatakan “Barang siapa yang sengaja keluar dari akidah Islam dan atau menghina atau melecehkan agama Islam sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat 3 akan dihukum dengan hukuman yang akan diatur dalam Qanun tersendiri.” Masalahnya, qanun ini sampai dengan hari ini belum juga ada sehingga di lapangan Satpol PP dan WH sangat sulit menyelesaikannya secara hukum. Namun, ada satu kekuatan yang menjadi penentu dalam penyelesaian masalah ini terutama masyarakat yang sangat antusias agar masalah ini dapat diselesaikan secara cepat dan tepat. Artinya, proses pemurtadan tersebut agar dapat dihentikan segera. Jalan sistematis harus segera diambil, pertama, perlu digelar rakor secara provinsi sebab masalah ini bukan hanya terjadi di masyarakat Aceh Barat tetapi kemungkinan juga sudah merambah ke daerah lain. Kedua, masyarakat yang konsen terhadap Islam harus diikat secara cerdas oleh Dinas Syariat Islam Kabupaten/Kota untuk menjadi jaringan pendalaman Akidah sekaligus sebagai penangkal pendangkalan Akidah. Dan yang ketiga, perlu upaya memperbaiki persepsi terhadap Islam itu sendiri dari kalangan Islam. Penolakan yang membabi buta terhadap pemberlakukan busana Islam di Aceh Barat merupakan indikasi bahwa masyarakat kita sudah mulai termakan isu fundamentalisme Islam dan penabalan Islam sebagai terorisme. Wallahu a’alam. * Penulis adalah Kasatpol PP dan WH Aceh Barat.

Memutus Mata Rantai Misionaris di Aceh

Sumber: Misionaris, pendangkalan dan pembelokan akidah, serta pemurtadan, menjadi rangkaian kata yang sangat populer di Aceh, khususnya di Aceh Barat, dalam sepekan terakhir. Semua itu berawal pada 19 Juli lalu, ketika tiga warga Amerika Serikat diamankan Imigrasi Meulaboh demi mencegah amuk massa, karena mereka diduga menyebarkan misi Kristen di Aceh Barat, bagian dari tanah Aceh yang bersyariat Islam. Ketiga warga Amerika yang masih satu keluarga itu bekerja pada yayasan sosial (koperasi dan usaha kecil). Mereka juga punya link dengan beberapa guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Aceh Barat asal Sumatera Utara yang belakangan terungkap bahwa semua mereka terindikasi berkomplot sebagai misionaris. Berdasarkan arti kamus, misionaris adalah orang yang menyebarkan warta (kabar gembira) Injil kepada orang lain yang belum mengenal Kristus. Pada kenyataannya, setelah Satpol PP dan WH maupun kepolisian setempat menggencarkan pengusutan, aksi misionaris itu memang memiliki dasar pembuktian yang kuat. Setidaknya sudah tiga perempuan Aceh Barat mengaku dibaptis sebagai jemaat Kristus. Bukan cuma Injil, sejumlah kaset yang berisi lagu pujian-pujian untuk misa juga dimiliki wanita yang menjadi sasaran pemurtadan itu. Menariknya lagi, wanita-wanita yang awalnya muslimah itu tetap dianjurkan pakai jilbab dan melakukan shalat di masjid, namun senantiasa berada dalam kontrol dan arahan para pembaptisnya. Tak kurang mengagetkan, para wanita itu mengaku dibaptis di bawah alam sadarnya, sebagaimana diakui Juwita, Cut, ataupun Ernawista. Terus terang, sebagai umat beragama di negeri syariat, rasa keberagamaan kita tersayat-sayat membaca berita ini. Itu karena kita tahu tentang kesepakatan di negeri ini bahwa kepada orang yang sudah beragama dilarang menyebarkan agama lain. Di sisi lain, kehidupan yang damai dan tenteram tentunya dambaan semua umat beragama. Oleh karenanya, rasa saling menghormati dan toleransi antarumat beragama perlu terus dijaga. Namun, tetap tidak boleh dalam konteks toleransi itu ada pihak yang aktif melakukan penetrasi agamanya kepada orang yang sudah beragama. Ini terlarang dan pelanggarnya dapat dihukum. Islam sendiri mengajarkan, tidak ada pemaksaan dalam beragama. Memeluk agama tertentu haruslah didasarkan kesadaran sendiri. Oleh karenanya, pihak berkompeten perlu segera mengambil langkah strategis untuk memutus mata rantai jaringan misionaris di Aceh, agar upaya pemurtadan dan pembelokan akidah seperti di Aceh Barat, tidak menyebar luas di bumi Serambi Mekkah ini. Selain itu, masyarakat muslim diimbau untuk terus mempertebal iman dengan melaksanakan syariat Islam secara baik dan benar, tidak mudah tergoda dengan ajakan-ajakan kelompok misionaris. Tak kalah pentingnya adalah meningkatkan pemahaman keislaman dan membuat mereka tidak terus-menerus terpuruk dalam kemiskinan, karena kefakiran sangatlah dekat dengan kakufuran.

Ujian Iman dari Misionaris

FUAD Mardhatillah UY Tiba (FM) dalam tulisannya berjudul Pemurtadan; Ironi, Dilema, dan Hikmah (Serambi, 26/07/2010) dengan berani memunculkan analisis cerdas tentang aksi pemurtadan yang secara terjadwal mewarnai wajah negeri syariat ini. Selain menganggap isu pemurtadan yang mencuat di penghujung Juli 2010 di Aceh Barat itu sarat akan muatan politis, FM juga menohok para elite agama dan pejabat Aceh yang menurutnya lebih mementingkan diri sendiri daripada kepentingan umat. Meski tergolong berani dan cerdas dalam memunculkan tesis, namun FM terlihat kurang lugas alias remang-remang dalam mengulas sisi penggunaan dana publik yang dihabiskan untuk menangkal isu pemurtadan itu. FM hanya menulis, “meskipun anggaran yang dikelola pemerintah kini menjadi berkali lipat. Tapi semua anggaran itu kembali ke saku para pemegang kuasa di berbagai sektor dan kalangannya, termasuk di kampus dan lembaga-lembaga pendidikan lain.” Seharusnya, mantan Deputi Agama, Sosial dan Budaya BRR NAD-Nias itu dapat memberi bandingan gambaran dana yang terkuras untuk mengantisipasi isu pemurtadan yang amat seksi itu. Minimal FM dapat menyebut berapa anggaran yang digelontorkan BRR untuk memfasilitasi dan menggaji tim investigasi pemurtadan yang terbentuk di era kedeputiannya di BRR. Dengan cara ini, maka publik akan dapat menilai apakah tesis FM tentang “politisasi” isu pemurtadan itu benar atau tidak. Mencuatnya isu pemurtadan berupa pembaptisan tiga perempuan asal Aceh Barat menjelang bulan suci Ramadhan 1431 H ini telah memicu kemarahan publik dan pejabat Aceh. Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, Wagub Aceh Muhammad Nazar, Bupati Aceh Barat Ramli MS, Ketua MPU dan sejumlah pejabat teras lainnya memberi komentar-komentar geram terkait fenomena murtadnya sejumlah warga Aceh Barat. Berbeda dengan FM, para pejabat Aceh tampak belum berani melakukan instrospeksi internal soal keberhasilan misionaris dalam mengubah akidah warga Aceh. Mereka cenderung menyalahkan misionaris secara sepihak. Padahal, aksi misionaris tidak akan berbuah hasil jika lembaga-lembaga keagamaan yang ada di Aceh bekerja optimal dalam mengawal aqidah umat. Menguji kualitas iman Aksi pemurtadan silih berganti mengemuka di Aceh. Dalam catatan FM, aksi itu pernah mencul di tahun 1998, 2005 dan kini di tahun 2010. Melihat rentang waktu mencuatnya isu pemurtadan itu, maka terbuka kemungkinan dalam lima atau sepuluh tahun ke depan fenomena itu akan kembali muncul, dan umat Islam Aceh akan dihebohkan lagi. Berbeda dengan isu pemurtadan era 2005 yang sulit dibuktikan meski telah dilakukan investigasi atas laporan masyarakat (Lihat Hasan Basri M.Nur, Is issue of conversion in Aceh substantiated?, The Jakarta Post, 11/1/2006), aksi pemurtadan kali ini tampak sangat nyata tentang lokasi (where), kapan (when), siapa (who), dan bagaimana (how) proses pemurtadan itu terjadi. Hanya satu soal yang belum terjawab dan perlu segera dicari jawabannya adalah mengapa (why) itu terjadi. Pada sisi lain, aksi pemurtadan sebenarnya menjadi instrumen paling jitu untuk menguji kualitas iman umat. Melalui ujian ini para pemimpin di negeri berjuluk “tasawwuf” itu dapat mengevaluasi sejauhmana kualitas iman umatnya. Seandainya aksi pemurtadan ini tidak tercium barangkali kita akan selalu menganggap bahwa iman ureung Aceh sudah mapan, tidak akan pernah tergoda oleh dogma lain. Dengan demikian, aksi misionaris yang bergerilya di Aceh Barat sejatinya menjadi cambuk bagi para pemimpin negeri yang mengklaim bersyariat Islam kaffah untuk introspeksi diri sehingga tidak terlalu gampang mencari kambing hitam apalagi “lempar handuk” berupa penolakan bertanggungjawab. Memarahi dan mencaki maki misionaris agaknya tidak menjadi solusi dalam memapankan keimanan umat. Terceburnya tiga perempuan berjilbab asal Aceh Barat ke dalam pelukan agama lain menjadi bukti nyata bahwa ada permasalahan besar dalam keimanan umat. Untuk itu, semua instansi terkait perlu dievaluasi sejauhmana efektifitas program-program yang dijalankan serta tingkat pertanggungjawaban dalam melakukan tugasnya yang memang dibayar dengan uang negara. Selain organisasi keagamaan level provinsi dan kabupaten, agaknya pemerintah perlu mengevaluasi efektifitas dan tanggung jawab instansi-instansi resmi yang bergerak di level kecamatan. Bukankah Aceh memiliki aneka instansi “plat merah” yang mengurus masalah keislaman? Dinas Syariat Islam, Wilayatul Hisbah, Kemenag, MPU, Badan Dayah, Baitul Mal, KUA, BKPRMI serta instansi-instansi “plat merah” lain semuanya harus dievaluasi agar mereka secara bersama-sama menjalankan tanggung jawab dengan lebih serius dan tanpa pamrih sehingga tidak ada celah bagi pihak lain untuk mencoba menggoda keimanan warga Aceh. Seandainya instansi-instansi di atas saling lempar tanggung jawab dan mengedepankan pemanfaatan dana negara untuk dimasukkan ke kantong pribadi sebagaimana dikeluhkan FM, maka jangan menyalahkan aksi misionaris yang bermain di celah-celah kelalaian kita. Sebab, semua agama, kecuali Yahudi, mempunyai misi penyebaran dan perekrutan umat agar berkembang. Kita patut merasa malu melihat aksi pemurtadan terjadi di depan hidung instansi-instansi keagamaan yang ada di Aceh, apalagi instansi-instansi ini memiliki jaringan hingga kecamatan bahkan pedesaan serta didukung oleh infrastruktur dan anggaran rutin. Sementara misionaris yang datang jauh dari luar Aceh, bahkan dari luar negeri, bekerja dengan modal sendiri, tanpa didanai negara dan mungkin tidak berharap imbalan. “Razia iman” Mencuatnya fakta pemurtadan tiga dara berjilbab di wilayah Aceh Barat yang oleh Bupati Ramli MS telah distempelkan sebagai Negeri Tauhid dan Tasawwuf itu telah mencengangkan publik Aceh. Kebijakan Sang Bupati untuk “me-rok-kan” Kota Meulaboh tampak sia-sia mengingat iman sebagian penduduknya yang rapuh. Meski korban pemurtadan mengaku dibaptis di bawah alam sadar, tetapi pembongkaran kasus ini tidak berawal dari laporan korban melainkan digeladah oleh masyarakat. Barangkali Bupati Ramli tidak pernah mengetahui ternyata isi hati (iman) rakyatnya sangat rapuh akibat kesalahan didikan bertahun-tahun, sehingga dia pun buru-buru mengejar simbol semisal stempel “Kota Tauhid dan Tasawwuf” serta “Kota Rok”. Fakta pemurtadan kini menjadi PR baru bagi Sang Bupati dan Pemerintah Aceh untuk membuat peraturan “razia iman” bagi penduduknya. Berbeda dengan razia rok, razia iman ini barangkali amat sulit ditemukan mekanismenya, karena ia sangat abstrak dan hanya ada di dalam hati. Akan tetapi, sebelum merazia keimanan rakyat, ada baiknya Pak Bupati menetapkan indikator beriman bagi aparatur pemerintah seperti tidak menggunting dana rakyat untuk kepentingan pribadi/kelompok, tidak menyia-nyiakan fakir miskin sehingga mereka terjerumus dalam jurang pemurtadan, tidak menggunakan fasilitas negara untuk urusan pribadi, tidak mengeluh apalagi membeda-bedakan bentuk pelayanan kepada rakyat dan sebagainya. Semoga! * Penulis adalah Dosen IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.

My Name..

What HERY SUHENDRA Means
H is for Honest

E is for Easy

R is for Refined

Y is for Young

S is for Sassy

U is for Unusual

H is for Honest

E is for Expressive

N is for Neat

D is for Dramatic

R is for Rich

A is for Ambitious