WeLLCome

SeLamat Datang di Web Hery Suhendra, SeLamat menikmati...


Jumat, 30 Juli 2010

Islam “Mazhab” Aceh

ISLAM di Aceh, dengan syariat Islam sebagai isu utamanya, kembali menjadi salah satu topik pembicaraan atau diskursus belakangan ini. Sejumlah tulisan di media mulai dari Aceh Satu Mazhab, Negeri Cari ‘Ap, dan Membela Syariat Islam cukup menggambarkan bagaimana tingginya perhatian masyarakat dan publik terhadap hal ini. Seyogyanya semua tulisan di atas, dari perspektif manapun, haruslah dihargai sebagai bentuk apresiasi dan harapan mereka untuk melihat Islam di Aceh ke arah yang lebih baik. Jikapun ada yang bernada kritis, pedas bahkan sinis, itu adalah wujud ekspresi kecintaan mereka, jangan kemudian diterjemahkan sebagai pihak yang kontra syariat. Islam Aceh seharusnya Islam dengan sistem dan tata hidup universal yang mencakup agama, bangsa, syiar dan syariat, rakyat dan pemerintahan, rahmat dan keadilan, kultur dan qanun, sains dan hukum, aqidah dan ideologi. Tidak ada istilah islam aqidah vs islam politik, islam pastoral atau islam ibadah. Islam dan Aceh, sebagaimana yang disampaikan oleh Dr.Edward Aspinal dalam sebuah diskusi, harus diakui sejak lama menjadi bagian dari urat nadi dan identitas masyarakat Aceh, sekaligus sebagai jalur perekat dengan wilayah lain di nusantara dan bagian dunia yang lain. Oleh karenanya, Islam Aceh tidak boleh hanya ditafsirkan sebagai alat bagi para penguasa untuk menghukum rakyat kecil, tapi malah menafikan pelanggaran hukum yang dilakukan para pengambil kebijakan. Kekhawatiran banyak pihak, bahwa islam Aceh hanya mengurusi hal-hal kecil dan domestik, tapi malah melupakan nilai-nilai islam yang substansial dan bersifat publik seperti keadilan dan kesejahteraan, tidak boleh tidak menjadi catatan penting bagi kita semua, khususnya para ulama dan umara di Aceh. Jadi islam sudah sepantasnya mengatur hal domestik dan hal publik. Ia memperkecil korupsi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Islam ‘mazhab’ Aceh seharusnya tidak parsial, tapi spesial dan menyeluruh. Mengenai perdebatan mazhab dan aliran fiqh di Aceh. Pendapat imam dan wakilnya atas suatu yang tidak ada nashnya bisa diamalkan selama tidak bertentangan dengan syariah. Ini berubah sesuai kondisi, situasi, adat dan tradisi. Pendapat Seseorang boleh diikuti atau ditinggalkan kecuali Rasul. Karena cuma Rasul saw yang makshum. Tetapi kita tidak boleh menyerang pribadi dalam masalah khilafiah, kembalikan semua keniat, apalagi menyatakan seseorang kafir, tanpa yang bersangkutan memang dengan jelas mendeklarasikannya kafir dan jelas-jelas melakukan kekafiran. Islam adalah agama yang mengajak bukan mengejek. Oleh karena itu, setiap muslim yang belum mencapai tingkat mujtahid dalam melihat dalil hukum, boleh mengikuti salah satu imam agama, dan akan lebih baik jika mengikuti tidak dengan taklid, tapi mengikuti ijtihad sesuai dengan kemampuan dan dalilnya serta hendaknya ia segera menyempurnakan kekurangan ilmiahnya. Inti lain yang diharapkan dari islam di Aceh ke depan adalah berkembanganya ilmu sebagai salah satu metode dalam menguatkan keislaman. Dalam dinamikanya, Islam berkembang pesat di Eropa dan Asia karena penyebaran ilmu. Bab Pertama dari 40 Bab buku Ihya Ulumuddin-Al Ghazali adalah mengenai rintangan ilmu. Jadi jelas bahwa penyadaran adalah hal utama dalam Islam. Kesadaran membuat orang kemudian ikhlas beramal, professional berbuat, bahkan sungguh-sungguh dan rela mengorbankan kepentingan pribadi dalam menjalankan amanah. Pada titik tertentu bahkan ia bisa memperkuat persatuan umat dan memajukan bangsa dan negara. Umar bin Abdul Aziz pernah berkata bahwa, ‘orang beramal tanpa ilmu akan merusak’. Demikian juga dengan Hasan Basri, orang tanpa ilmu adalah orang yang tanpa tujuan. Juga Rasulullah Saw mempertegas bahwa perbedaan antara orang berilmu dan tidak adalah ibarat aku dengan orang yang paling bodoh diantara kalian. Akan tetapi, patut dibedakan antara orang-orang yang berilmu dan tidak. Biasanya orang yang berilmu dia jika mendapati dua perbedaan pendapat, dan tidak nampak baginya mana yang lebih rajah diantaranya, ia tidak akan sungkan untuk mengatakan tidak tahu. Sedangkan orang yang mengaku berilmu, ia akan bersikap keras kepala, tidak bisa diajak dialog dan sibuk mempublikasikan kepakarannya. Bahkan Umar r.a sekalipun tidak segan mengatakan ketidak tahuannya ketika amirul mukminin ditanyakan mengenai hukum warisan dan riba. Lebih lanjut, Dr. Yusuf Qardhawy mengatakan adalah mustahil untuk menyamakan semua pendapat. Beliau berpendapat menyatukan banyak ragam pendapat dalam Islam adalah mimpi yang indah, tapi sangat jauh untuk dapat diwujudkan. Perbedaan adalah keniscayaan. Menurutnya yang bisa dilakukan oleh umat Islam sekarang adalah mencoba mendekatkan perbedaan itu, mengkoordinasikan dan bersepakat terhadap hal yang sama serta bertoleransi atas hal yang berbeda demi menjaga rasa persatuan dan ukhuwah yang jauh lebih penting daripada bersikeras, apalagi dalam hal furu’. Mengenai praktik diskursif nasionalisme keacehan, Islam di Aceh juga sangat akomodatif. Jika memang nasionalisme nasional Jakarta sudah tidak mampu lagi memberi kebaikan bagi Islam dan masyarakat Aceh, maka nasionalisme keacehan diharapkan mampu memberikan semangat baru bagi tercitanya nilai keamanan, kesejahteraan dan keadilan. Jika memang nasionalisme yang dimaksud adalah rasa cinta tanah air Aceh dengan segala kerinduan untuk menjadi lebih baik dan maju di masa depan, maka Islam adalah partner untuk itu. Bila yang dimaksud dengan nasionalisme keacehan adalah semangat untuk membebaskan rakyat dari kemiskinan, kebodohan, menguatkan rasa persatuan serta memberikan kemerdekaan dalam arti yang sesungguhnya bagi setiap individu maka itu sangat cocok dengan ciri khas Islam. Namun jika nasionalisme justru membawa kemudaratan, perpecahan, dikotomi dan pengkotakan umat dalam selubung fanatisme buta tanpa arah. Bila nasionalisme yang dimaksud hanyalah sarana untuk saling mencaci, saling menuduh dan berpecah belah, maka itu semua bukanlah nasionalisme yang pantas ada di Aceh. Mazhab Islam Aceh adalah wajah islam reumeh yang memberi peluang kepada kekhususan dan keunikan masyarakat Aceh dengan segala dinamikanya. Kalau kita mau jujur, sebenarnya berapa persen saja syariat yang memang harus dilegal-formalkan, sisanya mungkin sudah dilaksanakan dalam kehidupan keseharian kita, karena memang Islam itu sudah menjadi bagian penting dalam jiwa dan amal masyarakat Aceh. Islam Aceh yang damai dan menyeluruh adalah dambaan. Ia menghargai keragaman tanpa melupakan keteraturan. Aceh dan Islam membiarkan hal-hal dalam ‘zona termaafkan’ dan unsur sektoral sebagai bagian untuk perbaikan diri ke arah yang lebih baik, tanpa perlu terlalu kaku dan baku dalam menanggapinya. Perhatian Islam Aceh hanyalah kepada hal-hal umum (kulliyat), prinsipil (maqashid), dan kaidah dasar dalam hal baku demi adanya ketertiban dan keteraturan. Sisanya kita diminta menjadi bagian penting dari kreativitas, keagungan dan kemajuan Islam di Aceh ke depan dalam hal teknis, detil, sesuai kebutuhan lokal. * Penulis adalah dosen IAIN Ar-Raniry [Serambinews.com]

Minggu, 25 Juli 2010

Aksi Misionaris daLam Pemurtadan

[Sumber Photo: Eramuslim.com] [Pemurtadan di Negeri Tasawuf] SUNGGUH ironi memang, telah terjadi peristiwa mencengangkan yakni aksi pemurtadan di Aceh yang bergelar Serambi Mekkah, dan justru di Meulaboh Aceh Barat yang selama ini populer dengan sebutan Negeri Tauhid Tasawuf. Seperti percaya tidak percaya dengan apa yang terjadi di Aceh Barat, namun sebagaimana diberitakan Serambi (23/7), aksi pemurtadan itu memang benar adanya. Ketika Pemerintah Aceh umumnya, dan Pemerintah Kabupaten Aceh Barat khususnya sedang giat-giatnya melaksanakan pemberlakuan Syariat Islam dengan melakukan pemberantasan maksiat, justru kita dikejutkan dengan berita pemurtadan secara terencana. Dan, bila ini tidak segera mendapat tanggapan dari pihak berkompeten, baik itu pemerintah maupun Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), maka bukan mustahil upaya pemurtadan akan terus merambah ke pelosok pedesaan. Sebagai warga Aceh Barat, kita salut dan gembira dengan kebijakan Bupati Ramli MS yang dengan tegas memberlakukan rok (pakaian muslimah) bagi kaum perempuan terutama pegawai negeri. Ketika kebijakan Bupati Ramli tengah dimaksimalkan dengan menurunkan petugas Wilayatul Hisbah (WH) untuk melakukan razia terhadap kaum perempuan yang menggunakan pakaian ketat, justru muncul aksi pemurtadan. Jika pascamusibah gempa bumi dan tsunami melanda bumi Serambi Mekkah, berkembang isu pemurtadan secara diam-diam yang dilakukan para NGO luar negeri sambil memberikan bantuan kepada masyarakat terkena bencana. Saat ini, meski NGO luar sudah jarang kelihatan, namun bila disimak justru pemurtadan dilakukan secara sangat berencana. Ratusan kaset lagu-lagu pujian yang disita polisi membuktikan bahwa rencana pemurtadan telah dilakukan secara matang. Malah yang lebih mengkhawatirkan, terlibatnya guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Kalau ini tidak segera diakhiri, akan sangat sulit nantinya untuk memberikan pengetahuan tauhid karena anak usia dini telah dibekali dengan berbagai ilmu bukan ajaran Islam. Ernawita alias Nonong, warga Suak Seumaseh Kabupaten Aceh Barat serta rekannya berinisial N, warga asal Sumatera Utara yang berprofesi guru PAUD bukan mustahil akan mengajarkan kepada anak didiknya berupa fundamen agama bukan Islam. Ernawita alias Nonong yang juga mengaku telah membaptis Juwita, warga Suak Geudeubang pada 7 Juni 2010 di Pantai Lhok Bubon Samatiga harus diminta keterangan secara detail dengan harapan dapat mengungkap secara sunggug-sungguh aksi pemurtadan di Aceh Barat. Ini merupakan pekerjaan rumah cukup berat bagi pemerintah dan MPU kabupaten. Meski Nonong tidak lagi seorang muslimah, namun dari pengakuan kepada petugas, ia tetap menggunakan jilbab serta shalat berjemaah dengan tujuan agar tidak diketahui oleh masyarakat. Namun, sepandai-pandai ia menyembunyikan kebusukan, suatu saat juga akan diketahui. Setidaknya, sejumlah perempuan Aceh Barat yakni Nonong, Juwita, dan Cut Susinilawati telah terbukti korban dari aksi pemurtadan. Terlepas apakah yang dilakukan Nonong cs itu di luar kesadaran atau bukan, yang jelas aparat WH dan penegak hukum lainnya dituntut untuk mengungkap secara jelas aksi pemurtadan. Bila pengungkapan ini tidak jelas, maka program pelaksanaan syariat Islam serta instruksi berbusana muslimah kepada kaum perempuan di Negeri Tauhid Tasawuf akan sia-sia. Sebab, bukan mustahil ada pihak yang mengatakan, untuk apa dipaksakan penggunaan busana muslimah kalau aksi pemurtadan saja tak berhasil diungkapkan secara jelas. Instansi terkait di Aceh Barat serta orang tua pun dituntut untuk lebih peka terhadap pendidikan anak di sejumlah lembaga pendidikan. Terungkapnya aksi pemurtadan oleh guru PAUD di Negeri tauhid Tasawuf merupakan peringatan awal kepada instansi terkait seperti Dinas Pendidikan, Dinas Syariat Islam, Kementrian Agama serta pihak-pihak terkait lainnya. Orang tua murid pun, dengan banyaknya lembaga pendidikan, harus lebih hati-hati memilih tempat anaknya belajar. Bila tidak, anak-anak kita akan lebih mudah diberikan ilmu yang berkaitan dengan pendangkalan akidah. Selain mempercayakan lembaga pendidikan untuk mendidik anak, para orang tua pun berkewajiban untuk memberikan ilmu tauhid kepada anaknya. Terungkapnya pemurtadan berencana yang dilakukan pihak tertentu telah mencoreng wajah negeri Tauhid Tasawuf. Karena itu, berbagai pihak mengharapkan sesegera mungkin dapat mengungkap apa motif sehingga sejumlah muslim dan muslimah Aceh Barat rela murtad serta berpaling dari Islam. Selama beberapa warga yang mengaku telah dibaptis terus diminta keterangan, mudah-mudahan faktor apa yang menyebabkan mereka murtad akan segera diketahui. Andaikata faktor penyebab murtad sejumlah warga Aceh Barat diketahui, apakah faktor ekonomi atau berbagai faktor lainnya, maka akan lebih mudah mengantisipasi aksi pemurtadan. Selain itu, harus diketahui persis siapa dalang dari aksi pemurtadan yang terjadi di bumi Tauhid Tasawuf Aceh Barat khususnya, serta di Aceh umumnya. Bila ini dapat segera terungkap, MPU wajib memberikan fatwa tentang apa tindakan yang harus dilakukan untuk menyelamatkan generasi Islam dari aksi pemurtadan. Selain itu kita juga tetap berdoa semoga Allah swt menyelamatkan Islam di Bumi Serambi Mekkah. Insya Allah. (Penulis:* Sofyan S Sawang adalah mantan anggota DPR Aceh) [Misionaris Perluas Jaringan] Aksi para misionaris dalam upaya pemurtadan dan pembelokan akidah dengan sasaran penduduk muslim di Aceh Barat, diduga semakin memperluas jaringannya. Buktinya, jumlah warga yang pindah agama terus bertambah dan pihak misionaris sendiri, kini dilaporkan juga aktif merekrut warga yang berdomisili di Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Jaya. Aksi pemurtadan dan pendangkalan akidah bagi warga muslim di Aceh Barat, kini mulai menunjukkan titik terang. Para misionaris yang telah berhasil mempengaruhi warga muslim di beberapa desa di wilayah itu, menargetkan Kabupaten Aceh Barat khususnya di Desa Suak Seumaseh, Kecamatan Samatiga, sebagai lokasi pembaptisan dan akan menjadikan daerah tersebut sebagai pusat pengembangan agama nonmuslim di kawasan pantai barat selatan Aceh. “Warga muslim yang kini telah berpindah agama tanpa sengaja, yang dilakukan oleh misionaris tersebut, jumlahnya kita perkirakan semakin banyak. Bahkan, selain telah merekrut anggota di Aceh Barat, kelompok itu disinyalir juga telah merekrut warga dari Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Jaya,” kata Kepala Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah (Kasatpol PP dan WH) Aceh Barat, H Teuku Ahmad Dadek SH, melalui Kasi PKD dan Syariat Islam, Fadlian Syahputra SSTP MSi kepada Serambi, Jumat (23/7). Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan pihaknya kepada ketiga korban pemurtadan dan pendangkalan aqidah masing-masing Ernawita alias Nonong Binti Bustaman, Juwita Binti Karman, serta Cut Susinilawati, misionaris yang selama ini bekerja di wilayah itu, memang sengaja melakukan pendangkalan akidah bagi umat Islam, dengan mengatakan bahwa Nabi Isa akan mengampuni dosa-dosa manusia serta tak boleh percaya kepada Nabi Muhammad SAW. Tak hanya itu, katanya, para misionaris yang melakukan pemurtadan tersebut memang sengaja melakukan pendangkalan aqidah untuk mempercayakan agama yang dianutnya tersebut, untuk menjerumuskan ketiga korban dalam agama mereka, serta turut diberikan buku-buku doa agama dimaksud sekaligus kitab Zabur maupun Injil. Supaya aksi yang dijalankan itu tak diketahui masyarakat banyak, para misionaris yang kini sedang dilacak keberadaannya itu turut berpesan bahwa apabila mereka membocorkan rahasia bahwa mereka telah dipindahkan agamanya kepada warga lain, maka para kaum perempuan itu kondisinya dalam bahaya. “Kesimpulan sementara, ketiga warga Kecamatan Samatiga ini merupakan korban pendangkalan aqidah dan bukan pelaku pemurtadan, mereka hanyalah korban misionaris yang berupaya menjerumuskan kepada agama non muslim seperti yang selama ini dianut para warga yang berasal dari luar Aceh tersebut,” terang Fadlian. Memang disengaja Di sisi lain, ujar Fadlian, para misionaris yang menjalankan aksinya itu memang sengaja memurtadkan ketiga kaum perempuan tersebut dari agama Islam menjadi agama non muslim. Karena ketiga warga yang kini diamankan pihaknya, kurang mendapatkan pembekalan ilmu agama Islam sehingga sangat mudah dipengaruhi. Apalagi ketiganya sama-sama memiliki masalah dan beban hidup yang berat dan tak mampu ditanggung sendiri. Melihat situasi seperti itu, para misionaris yang selama ini telah menjalankan misinya yang tersembunyi itu, langsung memanfaatkan momen tersebut untuk menjalankan aksinya dengan berbagaimacam cara. Apalagi ketiga korban tak begitu paham ajaran agama Islam dan malah dijanjikan oleh misionaris bahwa jika mereka mempercayai Nabi Isa AS, maka hidup mereka akan kembali tenteram termasuk mendapatkan penghapusan dosa dari masa lampau hingga ke masa yang akan datang. Berdasarkan hasil pemeriksaan pada ketiga korban, tambah Fadlian Syahputra, pelaku utama yang membaptis ketiga warga Kecamatan Samatiga tersebut bukanlah para warga Aceh Barat seperti yang saat ini mereka amankan, melainkan otak rencana tersebut merupakan ketiga teman mereka yang merupakan misionaris. “Ernawita dan Juwita hanya diminta tolong untuk memandikan temannya itu untuk percaya kepada Nabi Isa, sedangkan doa-doa tertentu hanya dibacakan oleh ketiga warga nonmuslim tersebut yang dilakukan di dua lokasi terpisah, masing-masing di kawasan Pantai Lhok Bubon, Kecamatan Samatiga serta kawasan Pantai Ujong Kareung, Kota Meulaboh,” kata Fadlian mengutip pengakuan para korban pemurtadan itu. “Jadi sangat jelas, bahwa ketiga perempuan yang kita amankan ini bukan pelaku pemurtadan, melainkan mereka hanya korban dari perbuatan misionaris. Apalagi ketiganya hingga kini tak tahu bagaimana cara beribadah dalam agama nonmuslim tersebut,” imbuhnya. Guna menutupi kedoknya, para misionaris itu tetap memperbolehkan ketiga korban untuk melaksanakan ibadah seperti yang selama ini dilaksanakan oleh umat Islam seperti menunaikan shalat lima waktu, serta memakai busana muslim. Namun untuk kepercayaan dalam hidup, mereka hanya diminta untuk pecaya kepada Nabi Isa dan tak boleh percaya kepada ajaran Nabi Muhammad SAW. “Ini baru sebagian fakta yang terungkap,” pungkas Kasi PKD dan Syariat Islam Satpol PP dan WH Aceh Barat itu. [Aksi Misionaris Melanggar Hukum] Aksi pemurtadan dan pembelokan akidah yang dilakukan sejumlah misionaris khusus di Aceh Barat, dinilai melanggar hukum. Sebab, kebebasan beragama di Indonesia termasuk di Aceh, tidak boleh memaksakan seseorang yang sudah memeluk agama tertentu, masuk ke agama lainnya. “Karena itu, sebelum meluas dan mengganggu ketentraman masyarakat, fenomena yang terjadi dan ditemukan di Aceh Barat itu, harus diselesaikan dengan cepat dan tegas,” kata Wakil Gubernur (Wagub) Aceh, Muhammad Nazar, terkait kasus pemurtadan dan upaya pembelokan akidah tersebut, kepada Serambi, di Banda Aceh, Jumat (23/7). Dikatakan, menurut aturan yang ada tentang kebebasan beragama di Indonesia bahwa seseorang atau suatu kelompok agama tidak boleh memaksakan orang lain yang sudah beragama masuk ke agama lain. Dalam agama Islam sendiri, misalnya, malah diajarkan tidak ada pemaksaan dalam beragama. “Seseorang atau kelompok orang yang ingin memeluk agama tertentu, haruslah dengan kesadaran sendiri,” kata Wagub Muhammad Nazar. Sayangnya, sebut Muhammad Nazar, ada orang dan kelompok yang beragama lain justru memaksakan orang-orang Muslim pindah agama, ini banyak terjadi bukan hanya di Aceh. Mestinya antarumat yang berbeda agama harus dibangun toleransi, bukan memaksakan umat lain berpindah agama. “Hal itu, tentunya, sangat bertentangan dengan aturan dan hukum yang ada,” katanya. Lebih jauh, ujar Wagub Muhammad Nazar, aksi misionaris seperti itu dapat menimbulkan masalah baru. Karena itu orang-orang yang bergerilya atau menjadi misionaris yang berkerja memaksakan orang yang sudah beragama pindah ke agama lain haruslah ditindak tegas. “Pemerintah pusat tidak boleh lamban dengan hal-hal seperti itu, karena kewenangan kebebasan beragama ada di tangan pemerintah pusat,” tegasnya. “Kami sendiri di Pemerintah Aceh telah melakukan koordinasi intens dengan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Kementerian Agama dan Dinas Syariat Islam Aceh, untuk menyelidiki dengan baik kasus misionaris di Meulaboh tersebut,” imbuh Wagub Muhammad Nazar. Menurutnya, dengan cara apa pun, mulai dengan cara menghipnotis, alasan memberi bantuan sampai kekerasan yang bertujuan agar orang yang telah beragama mau memindahkan agamanya ke agama lain, itu dapat disebut pemaksaan. “Pemaksaan pemindahan agama itu, baik dalam Islam maupun aturan Negara Indonesia adalah dilarang keras. Pelakunya harus ditindak tegas, tetapi masyarakat tidak boleh bermain hakim sendiri,” katanya. Semakin dahsyat Menurut Wagub Aceh itu, tantangan yang dialami umat Islam saat ini dan ke depan akan semakin dahsyat, apalagi jika umat Islam tidak berkualitas, tidak memahami dan tidak mempraktekkan agama dengan benar serta terus menerus terpuruk dalam kemiskinan. “Sebab ada saja di dunia ini orang-orang yang memanfaatkan hal demikian dengan mengajarkan bahwa agama lain lebih benar dan menjamin kehidupan,” ujarnya. Karena itu, ujar Muhammad Nazar, penguatan akidah dan penerapan syariat Islam yang benar harus terjadi dalam seluruh sisi kehidupan dan harus dimulai dalam rumah tangga. “Karena itu pula, masyarakat muslim di Aceh harus lebih memperhatikan keluarganya di bidang agama, dan jangan hanya mencukupkan dengan langkah-langkah yang dilakukan pemerintah daerah saja,” ujarnya. Pemerintah daerah mengontrol, memfasilitasi, membuat aturan, mengkoordinasikan, menyediakan anggaran dan kelembagaan, tetapi masyarakat harus berpartisipasi aktif juga dalam hal memajukan pendidikan Islam. “Kami sekarang sedang menyelesaikan rencana pembentukan Komisi Pembinaan Keluarga Aceh (KPKA), di mana penduduk muslim di Aceh akan mendapat pembinaan khusus sebelum melaksanakan pernikahan, sehingga paling tidak memiliki nilai dasar tentang agama dan memahami tanggungjawab sebuah keluarga,” pungkas Wagub Muhammad Nazar. (Sumber: Serambinews.com & Dari berbagai sumber)

My Name..

What HERY SUHENDRA Means
H is for Honest

E is for Easy

R is for Refined

Y is for Young

S is for Sassy

U is for Unusual

H is for Honest

E is for Expressive

N is for Neat

D is for Dramatic

R is for Rich

A is for Ambitious