WeLLCome

SeLamat Datang di Web Hery Suhendra, SeLamat menikmati...


Jumat, 30 Juli 2010

Islam “Mazhab” Aceh

ISLAM di Aceh, dengan syariat Islam sebagai isu utamanya, kembali menjadi salah satu topik pembicaraan atau diskursus belakangan ini. Sejumlah tulisan di media mulai dari Aceh Satu Mazhab, Negeri Cari ‘Ap, dan Membela Syariat Islam cukup menggambarkan bagaimana tingginya perhatian masyarakat dan publik terhadap hal ini. Seyogyanya semua tulisan di atas, dari perspektif manapun, haruslah dihargai sebagai bentuk apresiasi dan harapan mereka untuk melihat Islam di Aceh ke arah yang lebih baik. Jikapun ada yang bernada kritis, pedas bahkan sinis, itu adalah wujud ekspresi kecintaan mereka, jangan kemudian diterjemahkan sebagai pihak yang kontra syariat. Islam Aceh seharusnya Islam dengan sistem dan tata hidup universal yang mencakup agama, bangsa, syiar dan syariat, rakyat dan pemerintahan, rahmat dan keadilan, kultur dan qanun, sains dan hukum, aqidah dan ideologi. Tidak ada istilah islam aqidah vs islam politik, islam pastoral atau islam ibadah. Islam dan Aceh, sebagaimana yang disampaikan oleh Dr.Edward Aspinal dalam sebuah diskusi, harus diakui sejak lama menjadi bagian dari urat nadi dan identitas masyarakat Aceh, sekaligus sebagai jalur perekat dengan wilayah lain di nusantara dan bagian dunia yang lain. Oleh karenanya, Islam Aceh tidak boleh hanya ditafsirkan sebagai alat bagi para penguasa untuk menghukum rakyat kecil, tapi malah menafikan pelanggaran hukum yang dilakukan para pengambil kebijakan. Kekhawatiran banyak pihak, bahwa islam Aceh hanya mengurusi hal-hal kecil dan domestik, tapi malah melupakan nilai-nilai islam yang substansial dan bersifat publik seperti keadilan dan kesejahteraan, tidak boleh tidak menjadi catatan penting bagi kita semua, khususnya para ulama dan umara di Aceh. Jadi islam sudah sepantasnya mengatur hal domestik dan hal publik. Ia memperkecil korupsi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Islam ‘mazhab’ Aceh seharusnya tidak parsial, tapi spesial dan menyeluruh. Mengenai perdebatan mazhab dan aliran fiqh di Aceh. Pendapat imam dan wakilnya atas suatu yang tidak ada nashnya bisa diamalkan selama tidak bertentangan dengan syariah. Ini berubah sesuai kondisi, situasi, adat dan tradisi. Pendapat Seseorang boleh diikuti atau ditinggalkan kecuali Rasul. Karena cuma Rasul saw yang makshum. Tetapi kita tidak boleh menyerang pribadi dalam masalah khilafiah, kembalikan semua keniat, apalagi menyatakan seseorang kafir, tanpa yang bersangkutan memang dengan jelas mendeklarasikannya kafir dan jelas-jelas melakukan kekafiran. Islam adalah agama yang mengajak bukan mengejek. Oleh karena itu, setiap muslim yang belum mencapai tingkat mujtahid dalam melihat dalil hukum, boleh mengikuti salah satu imam agama, dan akan lebih baik jika mengikuti tidak dengan taklid, tapi mengikuti ijtihad sesuai dengan kemampuan dan dalilnya serta hendaknya ia segera menyempurnakan kekurangan ilmiahnya. Inti lain yang diharapkan dari islam di Aceh ke depan adalah berkembanganya ilmu sebagai salah satu metode dalam menguatkan keislaman. Dalam dinamikanya, Islam berkembang pesat di Eropa dan Asia karena penyebaran ilmu. Bab Pertama dari 40 Bab buku Ihya Ulumuddin-Al Ghazali adalah mengenai rintangan ilmu. Jadi jelas bahwa penyadaran adalah hal utama dalam Islam. Kesadaran membuat orang kemudian ikhlas beramal, professional berbuat, bahkan sungguh-sungguh dan rela mengorbankan kepentingan pribadi dalam menjalankan amanah. Pada titik tertentu bahkan ia bisa memperkuat persatuan umat dan memajukan bangsa dan negara. Umar bin Abdul Aziz pernah berkata bahwa, ‘orang beramal tanpa ilmu akan merusak’. Demikian juga dengan Hasan Basri, orang tanpa ilmu adalah orang yang tanpa tujuan. Juga Rasulullah Saw mempertegas bahwa perbedaan antara orang berilmu dan tidak adalah ibarat aku dengan orang yang paling bodoh diantara kalian. Akan tetapi, patut dibedakan antara orang-orang yang berilmu dan tidak. Biasanya orang yang berilmu dia jika mendapati dua perbedaan pendapat, dan tidak nampak baginya mana yang lebih rajah diantaranya, ia tidak akan sungkan untuk mengatakan tidak tahu. Sedangkan orang yang mengaku berilmu, ia akan bersikap keras kepala, tidak bisa diajak dialog dan sibuk mempublikasikan kepakarannya. Bahkan Umar r.a sekalipun tidak segan mengatakan ketidak tahuannya ketika amirul mukminin ditanyakan mengenai hukum warisan dan riba. Lebih lanjut, Dr. Yusuf Qardhawy mengatakan adalah mustahil untuk menyamakan semua pendapat. Beliau berpendapat menyatukan banyak ragam pendapat dalam Islam adalah mimpi yang indah, tapi sangat jauh untuk dapat diwujudkan. Perbedaan adalah keniscayaan. Menurutnya yang bisa dilakukan oleh umat Islam sekarang adalah mencoba mendekatkan perbedaan itu, mengkoordinasikan dan bersepakat terhadap hal yang sama serta bertoleransi atas hal yang berbeda demi menjaga rasa persatuan dan ukhuwah yang jauh lebih penting daripada bersikeras, apalagi dalam hal furu’. Mengenai praktik diskursif nasionalisme keacehan, Islam di Aceh juga sangat akomodatif. Jika memang nasionalisme nasional Jakarta sudah tidak mampu lagi memberi kebaikan bagi Islam dan masyarakat Aceh, maka nasionalisme keacehan diharapkan mampu memberikan semangat baru bagi tercitanya nilai keamanan, kesejahteraan dan keadilan. Jika memang nasionalisme yang dimaksud adalah rasa cinta tanah air Aceh dengan segala kerinduan untuk menjadi lebih baik dan maju di masa depan, maka Islam adalah partner untuk itu. Bila yang dimaksud dengan nasionalisme keacehan adalah semangat untuk membebaskan rakyat dari kemiskinan, kebodohan, menguatkan rasa persatuan serta memberikan kemerdekaan dalam arti yang sesungguhnya bagi setiap individu maka itu sangat cocok dengan ciri khas Islam. Namun jika nasionalisme justru membawa kemudaratan, perpecahan, dikotomi dan pengkotakan umat dalam selubung fanatisme buta tanpa arah. Bila nasionalisme yang dimaksud hanyalah sarana untuk saling mencaci, saling menuduh dan berpecah belah, maka itu semua bukanlah nasionalisme yang pantas ada di Aceh. Mazhab Islam Aceh adalah wajah islam reumeh yang memberi peluang kepada kekhususan dan keunikan masyarakat Aceh dengan segala dinamikanya. Kalau kita mau jujur, sebenarnya berapa persen saja syariat yang memang harus dilegal-formalkan, sisanya mungkin sudah dilaksanakan dalam kehidupan keseharian kita, karena memang Islam itu sudah menjadi bagian penting dalam jiwa dan amal masyarakat Aceh. Islam Aceh yang damai dan menyeluruh adalah dambaan. Ia menghargai keragaman tanpa melupakan keteraturan. Aceh dan Islam membiarkan hal-hal dalam ‘zona termaafkan’ dan unsur sektoral sebagai bagian untuk perbaikan diri ke arah yang lebih baik, tanpa perlu terlalu kaku dan baku dalam menanggapinya. Perhatian Islam Aceh hanyalah kepada hal-hal umum (kulliyat), prinsipil (maqashid), dan kaidah dasar dalam hal baku demi adanya ketertiban dan keteraturan. Sisanya kita diminta menjadi bagian penting dari kreativitas, keagungan dan kemajuan Islam di Aceh ke depan dalam hal teknis, detil, sesuai kebutuhan lokal. * Penulis adalah dosen IAIN Ar-Raniry [Serambinews.com]

Tidak ada komentar:

My Name..

What HERY SUHENDRA Means
H is for Honest

E is for Easy

R is for Refined

Y is for Young

S is for Sassy

U is for Unusual

H is for Honest

E is for Expressive

N is for Neat

D is for Dramatic

R is for Rich

A is for Ambitious