WeLLCome

SeLamat Datang di Web Hery Suhendra, SeLamat menikmati...


Minggu, 01 Agustus 2010

Ujian Iman dari Misionaris

FUAD Mardhatillah UY Tiba (FM) dalam tulisannya berjudul Pemurtadan; Ironi, Dilema, dan Hikmah (Serambi, 26/07/2010) dengan berani memunculkan analisis cerdas tentang aksi pemurtadan yang secara terjadwal mewarnai wajah negeri syariat ini. Selain menganggap isu pemurtadan yang mencuat di penghujung Juli 2010 di Aceh Barat itu sarat akan muatan politis, FM juga menohok para elite agama dan pejabat Aceh yang menurutnya lebih mementingkan diri sendiri daripada kepentingan umat. Meski tergolong berani dan cerdas dalam memunculkan tesis, namun FM terlihat kurang lugas alias remang-remang dalam mengulas sisi penggunaan dana publik yang dihabiskan untuk menangkal isu pemurtadan itu. FM hanya menulis, “meskipun anggaran yang dikelola pemerintah kini menjadi berkali lipat. Tapi semua anggaran itu kembali ke saku para pemegang kuasa di berbagai sektor dan kalangannya, termasuk di kampus dan lembaga-lembaga pendidikan lain.” Seharusnya, mantan Deputi Agama, Sosial dan Budaya BRR NAD-Nias itu dapat memberi bandingan gambaran dana yang terkuras untuk mengantisipasi isu pemurtadan yang amat seksi itu. Minimal FM dapat menyebut berapa anggaran yang digelontorkan BRR untuk memfasilitasi dan menggaji tim investigasi pemurtadan yang terbentuk di era kedeputiannya di BRR. Dengan cara ini, maka publik akan dapat menilai apakah tesis FM tentang “politisasi” isu pemurtadan itu benar atau tidak. Mencuatnya isu pemurtadan berupa pembaptisan tiga perempuan asal Aceh Barat menjelang bulan suci Ramadhan 1431 H ini telah memicu kemarahan publik dan pejabat Aceh. Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, Wagub Aceh Muhammad Nazar, Bupati Aceh Barat Ramli MS, Ketua MPU dan sejumlah pejabat teras lainnya memberi komentar-komentar geram terkait fenomena murtadnya sejumlah warga Aceh Barat. Berbeda dengan FM, para pejabat Aceh tampak belum berani melakukan instrospeksi internal soal keberhasilan misionaris dalam mengubah akidah warga Aceh. Mereka cenderung menyalahkan misionaris secara sepihak. Padahal, aksi misionaris tidak akan berbuah hasil jika lembaga-lembaga keagamaan yang ada di Aceh bekerja optimal dalam mengawal aqidah umat. Menguji kualitas iman Aksi pemurtadan silih berganti mengemuka di Aceh. Dalam catatan FM, aksi itu pernah mencul di tahun 1998, 2005 dan kini di tahun 2010. Melihat rentang waktu mencuatnya isu pemurtadan itu, maka terbuka kemungkinan dalam lima atau sepuluh tahun ke depan fenomena itu akan kembali muncul, dan umat Islam Aceh akan dihebohkan lagi. Berbeda dengan isu pemurtadan era 2005 yang sulit dibuktikan meski telah dilakukan investigasi atas laporan masyarakat (Lihat Hasan Basri M.Nur, Is issue of conversion in Aceh substantiated?, The Jakarta Post, 11/1/2006), aksi pemurtadan kali ini tampak sangat nyata tentang lokasi (where), kapan (when), siapa (who), dan bagaimana (how) proses pemurtadan itu terjadi. Hanya satu soal yang belum terjawab dan perlu segera dicari jawabannya adalah mengapa (why) itu terjadi. Pada sisi lain, aksi pemurtadan sebenarnya menjadi instrumen paling jitu untuk menguji kualitas iman umat. Melalui ujian ini para pemimpin di negeri berjuluk “tasawwuf” itu dapat mengevaluasi sejauhmana kualitas iman umatnya. Seandainya aksi pemurtadan ini tidak tercium barangkali kita akan selalu menganggap bahwa iman ureung Aceh sudah mapan, tidak akan pernah tergoda oleh dogma lain. Dengan demikian, aksi misionaris yang bergerilya di Aceh Barat sejatinya menjadi cambuk bagi para pemimpin negeri yang mengklaim bersyariat Islam kaffah untuk introspeksi diri sehingga tidak terlalu gampang mencari kambing hitam apalagi “lempar handuk” berupa penolakan bertanggungjawab. Memarahi dan mencaki maki misionaris agaknya tidak menjadi solusi dalam memapankan keimanan umat. Terceburnya tiga perempuan berjilbab asal Aceh Barat ke dalam pelukan agama lain menjadi bukti nyata bahwa ada permasalahan besar dalam keimanan umat. Untuk itu, semua instansi terkait perlu dievaluasi sejauhmana efektifitas program-program yang dijalankan serta tingkat pertanggungjawaban dalam melakukan tugasnya yang memang dibayar dengan uang negara. Selain organisasi keagamaan level provinsi dan kabupaten, agaknya pemerintah perlu mengevaluasi efektifitas dan tanggung jawab instansi-instansi resmi yang bergerak di level kecamatan. Bukankah Aceh memiliki aneka instansi “plat merah” yang mengurus masalah keislaman? Dinas Syariat Islam, Wilayatul Hisbah, Kemenag, MPU, Badan Dayah, Baitul Mal, KUA, BKPRMI serta instansi-instansi “plat merah” lain semuanya harus dievaluasi agar mereka secara bersama-sama menjalankan tanggung jawab dengan lebih serius dan tanpa pamrih sehingga tidak ada celah bagi pihak lain untuk mencoba menggoda keimanan warga Aceh. Seandainya instansi-instansi di atas saling lempar tanggung jawab dan mengedepankan pemanfaatan dana negara untuk dimasukkan ke kantong pribadi sebagaimana dikeluhkan FM, maka jangan menyalahkan aksi misionaris yang bermain di celah-celah kelalaian kita. Sebab, semua agama, kecuali Yahudi, mempunyai misi penyebaran dan perekrutan umat agar berkembang. Kita patut merasa malu melihat aksi pemurtadan terjadi di depan hidung instansi-instansi keagamaan yang ada di Aceh, apalagi instansi-instansi ini memiliki jaringan hingga kecamatan bahkan pedesaan serta didukung oleh infrastruktur dan anggaran rutin. Sementara misionaris yang datang jauh dari luar Aceh, bahkan dari luar negeri, bekerja dengan modal sendiri, tanpa didanai negara dan mungkin tidak berharap imbalan. “Razia iman” Mencuatnya fakta pemurtadan tiga dara berjilbab di wilayah Aceh Barat yang oleh Bupati Ramli MS telah distempelkan sebagai Negeri Tauhid dan Tasawwuf itu telah mencengangkan publik Aceh. Kebijakan Sang Bupati untuk “me-rok-kan” Kota Meulaboh tampak sia-sia mengingat iman sebagian penduduknya yang rapuh. Meski korban pemurtadan mengaku dibaptis di bawah alam sadar, tetapi pembongkaran kasus ini tidak berawal dari laporan korban melainkan digeladah oleh masyarakat. Barangkali Bupati Ramli tidak pernah mengetahui ternyata isi hati (iman) rakyatnya sangat rapuh akibat kesalahan didikan bertahun-tahun, sehingga dia pun buru-buru mengejar simbol semisal stempel “Kota Tauhid dan Tasawwuf” serta “Kota Rok”. Fakta pemurtadan kini menjadi PR baru bagi Sang Bupati dan Pemerintah Aceh untuk membuat peraturan “razia iman” bagi penduduknya. Berbeda dengan razia rok, razia iman ini barangkali amat sulit ditemukan mekanismenya, karena ia sangat abstrak dan hanya ada di dalam hati. Akan tetapi, sebelum merazia keimanan rakyat, ada baiknya Pak Bupati menetapkan indikator beriman bagi aparatur pemerintah seperti tidak menggunting dana rakyat untuk kepentingan pribadi/kelompok, tidak menyia-nyiakan fakir miskin sehingga mereka terjerumus dalam jurang pemurtadan, tidak menggunakan fasilitas negara untuk urusan pribadi, tidak mengeluh apalagi membeda-bedakan bentuk pelayanan kepada rakyat dan sebagainya. Semoga! * Penulis adalah Dosen IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.

1 komentar:

ericparulian mengatakan...

Apa di Aceh benderanya bukan Merah Putih dan dasar negaranya bukan Pancasila......Aneh. Biarpun menerapkan Hukum Syariat, tetapi bukan seenak udelnya mengutuki orang.

Pindah keyakinan adlah urusan dan hak pribadi seseorang dan tidak bisa dihalangi siapapun.....tanggung jawab terletak pada pribadi itu sendiri.

Kecuali, menerapkan hukum barbarian.....dan saya yakin itu tidak terjadi di NKRI.

My Name..

What HERY SUHENDRA Means
H is for Honest

E is for Easy

R is for Refined

Y is for Young

S is for Sassy

U is for Unusual

H is for Honest

E is for Expressive

N is for Neat

D is for Dramatic

R is for Rich

A is for Ambitious